Halaman

Senin, 23 Juli 2012

Devinisi Attitude

Dalam artikel klasik yang diterbitkan pada pertengahan 1930-an, Gordon Allport (1935) berpendapat bahwa konsep sikap (attitude) merupakan konsep yang paling istimewa dan tidak bisa ditinggalkan dalam psikologi sosial mutakhir. Kendati pandangan yang begitu yakin ini bisa dipertanyakan dewasa ini, namun studi tentang sikap ten_is menarik perhatian banyak ahli riset. Sikap adalah masalah yang lebih banyak bersifat evaluasi afektif. Sikap menunjukkan penilaian kita (baik positif maupun negatif) terhadap bermacam-macam entitas, misalnya, individu-individu, kelompok-kelompok, obyek-obyek, tindakan-tindakan, dan lembaga-lembaga. Sikap pada galibnya diukur lewat prosedur tanya-jawab langsung dengan responden yang diminta untuk menunjukkan reaksi evaluatif mereka (suka-tidak suka dan seterusnya) terhadap sesuatu atau seseorang. Sejumlah prosedur pengukuran tak langsung (menyamar) juga dikembangkan (Kiddner dan Campbell 1970), namun cara ini seringkali sulit diterapkan dan tidak luas pemakaiannya. Sementara teoritisi berpandangan bahwa sikap seyogyanya tidak didefinisikan melulu dalam bentuk afektif (atau pengertian yang evaluatif), dan menyarankan bahwa sewajarnya sikap ditemukan dalam kombinasi unsur-unsur kognitif terkait' dan tingkah-laku. 
Jadi, orang yang menyukai seri-kat buruh biasanya memiliki ciri-ciri keyakinan tertentu; contohnya, mereka mungkin percaya bahwa kegiatan-kegiatan serikat buruh acapkali diperlakukan tidak adil oleh pers. Selain itu, orang yang bersikap pro-serikat buruh biasanya akan bertindak misalnya, bergabung dengan sebuah serikat buruh, atau lebih suka membell barang-barang dagangan serikat buruh ketimbang barang-barang yang diproduksi buruh non-serikat. Tapi, meskipun penilaian-penilaian tersebut dapat dipegang, tidak berarti semuanya berjalan mulus tanpa aral-rintangan; khususnya ketika hubungan antara sikap dan tingkah laku acapkali terbukti lemah atau tidak ada. Alih-alih mendefinisikan sikap-sikap dengan memasukkan keyakinan dan tingkah-laku sebagai unsur yang hakiki, para ahli riset dewasa ini lebih suka berfokus pada aspek evaluatif dari sikap, untuk menilai dengan prosedur-prosedur penilaian yang telah mereka kembangkan, dan melanjutkan dengan strudi empiris tentang hubungan antara sikap-sikap dan keyakinan serta hubungan antara sikap dan tingkah-laku.
Sikap dan keyakinan Sebuah pendekatan yang bersifat awam (com-mon-sense) menunjukkan pada kita bahwa sikap, pro atau kontra, berasal dari keyakinan-keyakinan kita. Sebagai contoh, kalau kita percaya bahwa toko yang baru buka menawarkan layanan yang memuaskan, barang yang bagus dan harga murah, maka kita akan menilai hal itu secara positif. Kampanye-kampanye iklan acapkali didasarkan pada model implisit semacam ini: mereka ingin mengubah keyakinan kita tentang suatu produk dengan mengatakan bahwa barang tersebut berkualitas bagus, dengan harapan hal ini akan benar-benar mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam berbelanja. Kendati sudah jelas bahwa sikap bisa dipenga-ruhi oleh perubahan-perubahan keyakinan (seperti digambarkan di atas), juga terdapat bukti yang menunjukkan keadaan sebaliknya. Sikap bukan hanya dipengaruhi oleh keyakinan, namun juga menentukan apa-apa yang kita yakini (Rosenberg et. al.). Dalam sebuah studi, contohnya, para responden diarahkan (dengan perintah-perintah setelah dihipnotis lebih dulu) untuk menerima pandangan baru perihal bantuan luar negeri. Tanya-jawab setelah proses itu menunjukkan bahwa sikap yang ditanamkan lewat pengaruh hipnotis tadi dibarengi oleh penerimaan secara spontan atas keyakinan-keyakianan baru yang sama sekali tidak disebut-sebut dalam hipnotis tadi; yakni keyakinan-keyakinan yang mendukung pandangan baru si responden. Studi-studi lain menunjukkan bahwa sikap mungkin juga memainkan peran sebagai penyaring, dan mempengaruhi seberapa jauh kita menerima informasi baru yang berlawanan dengan sikap-sikap kita (Lord et.al).
Sikap dan tingkah-laku Secara umum, sikap seseorang dianggap mempengaruhi tingkah-lakunya. Orang yang menyukai seorang calon atau posisi politik tertentu dapat diduga akan memberi suara pada calon itu, atau memberikan dukungan nyata (misalkan dengan memberi sumbangan), kebalikan dengan orang yang memiliki pandangan negatif terhadap calon itu. Akan tetapi, meskipun persoalan di atas terlihat sudah jelas, banyak studi yang membuktikan bahwa tingkah laku sehari-hari hanya memiliki hubungan yang lemah dengan sikap. Sebagian dari kesulitannya di sini adalah dikarenakan kenyataan bahwa tingkah-laku acapkali tergantung pada faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pilihan seseorang. Misalkan, seseorang yang memiliki pandangan amat positif terhadap organisasi keagamaan belum tentu bersedia memberikan donasi di saat ia baru saja dipecat dari pekerjaan. Demikian pula seorang pelayan hotel, bisa saja menyingkirkan segala prasangka pribadinya dan memberikan pelayanan yang sopan kepada orang dari bermacam etnis, jika pekerjaannya menuntut dernikian. Di lain pihak, kini terdapat bukti yang menarik bahwa sikap seseorang pada dasarnya bisa saja berkaitan dengan tingkah laku sehari-hari jika kita mengambil pandangan yang lebih luas tentang tingkah laku, yakni dengan mengamati reaksi seseorang dalam rentang yang lebih luas, bukan hanya satu tingkah laku. Misalkan, kendati tingkah laku relijius (positif-negatif) mungkin sedikit saja kaitannya dengan sumbangan finansial seseorang pada lembaga agamanya (mesjid, gereja), namun keterkaitan antara sikap relijius dan tingkah laku relijius akan lebih jelas jika disusun indeks tingkah laku yang lebih terpadu, di mana diperhitungkan hal-hal seperti kehadiran dalam Shalat Jumat, kebaktian mingguan, kehadiran dalam perayaan hari besar agama, doa sebelum makan, dan seterusnya (Fishbein dan Ajzan 1974). Sikap seseorang secara efektif berkaitan dengan tindakan nyata bilamana orientasi sikap itu adalah tindakan dan bisa diukur secara terperinci. Jadi, donasi-donasi pada mesjid atau gereja mungkin berkait dengan sikap seseorang kepada tindakan konkrit memberi donasi, bukan kepada hal umum seperti sikap kepada 'organisasi keagamaan'. Salah satu fenomena yang paling meyakinkan dalam riset mutakhir tentang sikap adalah kenyataan bahwa tingkah-laku bisa juga mempengaruhi sikap, bukan hanya mencerminkan pandangan-pandangan yang dipegang oleh orang tersebut sebelumnya. Pemyataan ini telah didukung oleh berbagai macam percobaan. Dalam sebuah studi klasik Festinger dan Carlsmith (1959), se-jumlah responden diarahkan untuk berpendapat bahwa suatu kegiatan laboratoris tertentu adalah `menarik', kendati sebelumnya mereka menganggap hal itu membosankan. Orang yang menjalankan tingkah-laku yang berlawanan ini dengan iming-iming yang lumayan (satu dolar) perlahan-lahan menempatkan tugas laboratoris yang membosankan itu sebagai hal yang menyenangkan, dibanding mereka yang tidak diminta untuk menyatakan sikap yang berlawanan. Para ahli riset lainnya mengembangkan sebuah prosedur di mana seseorang yang beperan sebagai pengajar memberikan hukuman kepada murid-murd yang membuat kesalahan dengan kejutan listrik. Wawancara setelah itu menunjukkan bahwa orang yang bertindak sebagai pengajar dalam jenis situasi ini menjadi semakin negatif dalam pandangan murid-muridnya. Kesinambungan suatu susunan perilaku sebagian berasal dari apa yang secara universal penting, yakni evaluasi (Osgood 1964). Tampaknya kita cenderung melakukan evaluasi terhadap bermacam orang, obyek, peristiwa atau institusi yang kita hadapi. Reaksi-reaksi (tingkah-laku) yang sifatnya evaluatif ini, asal-usul, korelasi dan konsekuensinya terus menjadi lahan subur bagi riset akademis dan terapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar