Dalam
artikel klasik yang diterbitkan pada pertengahan 1930-an, Gordon
Allport (1935) berpendapat bahwa konsep sikap (attitude) merupakan
konsep yang paling istimewa dan tidak bisa ditinggalkan dalam psikologi
sosial mutakhir. Kendati pandangan yang begitu yakin ini bisa
dipertanyakan dewasa ini, namun studi tentang sikap ten_is menarik
perhatian banyak ahli riset. Sikap adalah masalah yang lebih banyak
bersifat evaluasi afektif. Sikap menunjukkan penilaian kita (baik
positif maupun negatif) terhadap bermacam-macam entitas, misalnya,
individu-individu, kelompok-kelompok, obyek-obyek, tindakan-tindakan,
dan lembaga-lembaga. Sikap pada galibnya diukur lewat prosedur
tanya-jawab langsung dengan responden yang diminta untuk menunjukkan
reaksi evaluatif mereka (suka-tidak suka dan seterusnya) terhadap
sesuatu atau seseorang. Sejumlah prosedur pengukuran tak langsung
(menyamar) juga dikembangkan (Kiddner dan Campbell 1970), namun cara ini
seringkali sulit diterapkan dan tidak luas pemakaiannya. Sementara
teoritisi berpandangan bahwa sikap seyogyanya tidak didefinisikan melulu
dalam bentuk afektif (atau pengertian yang evaluatif), dan menyarankan
bahwa sewajarnya sikap ditemukan dalam kombinasi unsur-unsur kognitif
terkait' dan tingkah-laku.
Jadi, orang yang menyukai seri-kat buruh
biasanya memiliki ciri-ciri keyakinan tertentu; contohnya, mereka
mungkin percaya bahwa kegiatan-kegiatan serikat buruh acapkali
diperlakukan tidak adil oleh pers. Selain itu, orang yang bersikap
pro-serikat buruh biasanya akan bertindak misalnya, bergabung dengan
sebuah serikat buruh, atau lebih suka membell barang-barang dagangan
serikat buruh ketimbang barang-barang yang diproduksi buruh non-serikat.
Tapi, meskipun penilaian-penilaian tersebut dapat dipegang, tidak
berarti semuanya berjalan mulus tanpa aral-rintangan; khususnya ketika
hubungan antara sikap dan tingkah laku acapkali terbukti lemah atau
tidak ada. Alih-alih mendefinisikan sikap-sikap dengan memasukkan
keyakinan dan tingkah-laku sebagai unsur yang hakiki, para ahli riset
dewasa ini lebih suka berfokus pada aspek evaluatif dari sikap, untuk
menilai dengan prosedur-prosedur penilaian yang telah mereka kembangkan,
dan melanjutkan dengan strudi empiris tentang hubungan antara
sikap-sikap dan keyakinan serta hubungan antara sikap dan tingkah-laku.
Sikap
dan keyakinan Sebuah pendekatan yang bersifat awam (com-mon-sense)
menunjukkan pada kita bahwa sikap, pro atau kontra, berasal dari
keyakinan-keyakinan kita. Sebagai contoh, kalau kita percaya bahwa toko
yang baru buka menawarkan layanan yang memuaskan, barang yang bagus dan
harga murah, maka kita akan menilai hal itu secara positif.
Kampanye-kampanye iklan acapkali didasarkan pada model implisit semacam
ini: mereka ingin mengubah keyakinan kita tentang suatu produk dengan
mengatakan bahwa barang tersebut berkualitas bagus, dengan harapan hal
ini akan benar-benar mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam
berbelanja. Kendati sudah jelas bahwa sikap bisa dipenga-ruhi oleh
perubahan-perubahan keyakinan (seperti digambarkan di atas), juga
terdapat bukti yang menunjukkan keadaan sebaliknya. Sikap bukan hanya
dipengaruhi oleh keyakinan, namun juga menentukan apa-apa yang kita
yakini (Rosenberg et. al.). Dalam sebuah studi, contohnya, para
responden diarahkan (dengan perintah-perintah setelah dihipnotis lebih
dulu) untuk menerima pandangan baru perihal bantuan luar negeri.
Tanya-jawab setelah proses itu menunjukkan bahwa sikap yang ditanamkan
lewat pengaruh hipnotis tadi dibarengi oleh penerimaan secara spontan
atas keyakinan-keyakianan baru yang sama sekali tidak disebut-sebut
dalam hipnotis tadi; yakni keyakinan-keyakinan yang mendukung pandangan
baru si responden. Studi-studi lain menunjukkan bahwa sikap mungkin juga
memainkan peran sebagai penyaring, dan mempengaruhi seberapa jauh kita
menerima informasi baru yang berlawanan dengan sikap-sikap kita (Lord
et.al).
Sikap
dan tingkah-laku Secara umum, sikap seseorang dianggap mempengaruhi
tingkah-lakunya. Orang yang menyukai seorang calon atau posisi politik
tertentu dapat diduga akan memberi suara pada calon itu, atau memberikan
dukungan nyata (misalkan dengan memberi sumbangan), kebalikan dengan
orang yang memiliki pandangan negatif terhadap calon itu. Akan tetapi,
meskipun persoalan di atas terlihat sudah jelas, banyak studi yang
membuktikan bahwa tingkah laku sehari-hari hanya memiliki hubungan yang
lemah dengan sikap. Sebagian dari kesulitannya di sini adalah
dikarenakan kenyataan bahwa tingkah-laku acapkali tergantung pada
faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pilihan seseorang. Misalkan,
seseorang yang memiliki pandangan amat positif terhadap organisasi
keagamaan belum tentu bersedia memberikan donasi di saat ia baru saja
dipecat dari pekerjaan. Demikian pula seorang pelayan hotel, bisa saja
menyingkirkan segala prasangka pribadinya dan memberikan pelayanan yang
sopan kepada orang dari bermacam etnis, jika pekerjaannya menuntut
dernikian. Di lain pihak, kini terdapat bukti yang menarik bahwa sikap
seseorang pada dasarnya bisa saja berkaitan dengan tingkah laku
sehari-hari jika kita mengambil pandangan yang lebih luas tentang
tingkah laku, yakni dengan mengamati reaksi seseorang dalam rentang yang
lebih luas, bukan hanya satu tingkah laku. Misalkan, kendati tingkah
laku relijius (positif-negatif) mungkin sedikit saja kaitannya dengan
sumbangan finansial seseorang pada lembaga agamanya (mesjid, gereja),
namun keterkaitan antara sikap relijius dan tingkah laku relijius akan
lebih jelas jika disusun indeks tingkah laku yang lebih terpadu, di mana
diperhitungkan hal-hal seperti kehadiran dalam Shalat Jumat, kebaktian
mingguan, kehadiran dalam perayaan hari besar agama, doa sebelum makan,
dan seterusnya (Fishbein dan Ajzan 1974). Sikap seseorang secara efektif
berkaitan dengan tindakan nyata bilamana orientasi sikap itu adalah
tindakan dan bisa diukur secara terperinci. Jadi, donasi-donasi pada
mesjid atau gereja mungkin berkait dengan sikap seseorang kepada
tindakan konkrit memberi donasi, bukan kepada hal umum seperti sikap
kepada 'organisasi keagamaan'. Salah satu fenomena yang paling
meyakinkan dalam riset mutakhir tentang sikap adalah kenyataan bahwa
tingkah-laku bisa juga mempengaruhi sikap, bukan hanya mencerminkan
pandangan-pandangan yang dipegang oleh orang tersebut sebelumnya.
Pemyataan ini telah didukung oleh berbagai macam percobaan. Dalam sebuah
studi klasik Festinger dan Carlsmith (1959), se-jumlah responden
diarahkan untuk berpendapat bahwa suatu kegiatan laboratoris tertentu
adalah `menarik', kendati sebelumnya mereka menganggap hal itu
membosankan. Orang yang menjalankan tingkah-laku yang berlawanan ini
dengan iming-iming yang lumayan (satu dolar) perlahan-lahan menempatkan
tugas laboratoris yang membosankan itu sebagai hal yang menyenangkan,
dibanding mereka yang tidak diminta untuk menyatakan sikap yang
berlawanan. Para ahli riset lainnya mengembangkan sebuah prosedur di
mana seseorang yang beperan sebagai pengajar memberikan hukuman kepada
murid-murd yang membuat kesalahan dengan kejutan listrik. Wawancara
setelah itu menunjukkan bahwa orang yang bertindak sebagai pengajar
dalam jenis situasi ini menjadi semakin negatif dalam pandangan
murid-muridnya. Kesinambungan suatu susunan perilaku sebagian berasal
dari apa yang secara universal penting, yakni evaluasi (Osgood 1964).
Tampaknya kita cenderung melakukan evaluasi terhadap bermacam orang,
obyek, peristiwa atau institusi yang kita hadapi. Reaksi-reaksi
(tingkah-laku) yang sifatnya evaluatif ini, asal-usul, korelasi dan
konsekuensinya terus menjadi lahan subur bagi riset akademis dan
terapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar